hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | Gubuk Jupiter | Gubuk Jupiter |
Google
 
BERBAGI KISAH... KISAHMU, KISAHKU & KISAH KITA

Kamis, 27 Desember 2007

Penunggu Rumah Sofie oleh Naomi (Bag.2)

PENUNGGU RUMAH SOFIE (2)
Ditulis oleh : Naomi Firenzee
Pada tanggal : 27 Desember 2007


Siang itu, suasana kampus terlihat begitu lengang. Aku melihat Sofie sedang duduk santai, di salah satu bangku beton yang terdapat di depan ruangan dosen. Sesekali anak rambutnya melambai, dipermainkan oleh angin yang berhembus sepoi-sepoi.

“Hai, Fie...! Ngapain bengong sendirian?” teriakku sambil berjalan menghampirinya. Sofie hanya melirikku dari sudut matanya dan tersenyum aneh. Sofie tersenyum sinis. Kemudian dia menoleh ke arah yang berlawanan, menatap aneh pada sosok laki-laki yang bernama Dean. Laki-laki yang selama ini berusaha untuk menarik perhatian dan mendapatkan cinta Sofie.

“Heh! Napa, lo?” ujarku sambil menghenyakkan pantat duduk di sebelahnya. Sofie menoleh menatapku, tapi ada yang lain dengan tatapan matanya. Aneh! Tak biasanya Sofie bersikap begini terhadapku. Sofie yang manja dan centil kenapa bisa tiba-tiba jadi cool gitu ya?


“Eh, itu... laki-laki itu, siapa ya namanya?” tiba-tiba saja dia mengajukan pertanyaan yang membuatku terheran-heran.

“Heh?” aku menjadi kebingungan. Ku ikuti arah pandangan Sofie yang tertuju pada Dean.

“Dia?” celetukku lagi. Sofie mengangguk. Keherananku semakin memuncak. Masa sih dia nggak kenal Dean yang hampir tiap malam ngapelin dia? Masa sih dia nggak ingat dengan Dean yang mau melakukan apapun, demi cintanya terhadap Sofie? Waduh! Ada yang nggak beres, nih!

“Eh, lo sehat nggak, sih?” aku malah balas bertanya.
“Masa sih lo nggak tau dia?” lanjutku.
“Eh–uh, itu... aku lupa,” jawabnya gugup. Kecurigaanku mulai bertambah. Aku ingin tahu ada apa gerangan dengan Sofie.
“Lo ingat nama gue, nggak?” selidikku, penasaran.
“Yaa—ingat... kamu...” Dia mulai kelimpungan menjawab pertanyaanku. Sekarang aku mulai mengerti.
“Kamu siapa? Mana Sofie?” desisku tajam. Dia semakin salah tingkah.
“Aduh... kamu... aku… aku Sofie...” tangkisnya.
“Jawab!” aku terus mendesaknya. Mungkin karena tidak tahan dengan desakanku, atau mungkin juga karena telah ketahuan, akhirnya dia mengaku.
“Aku, Anna.” ujarnya pelan, namun cukup untuk membuatku terkesiap hebat.
“Apa!” Terlontar teriakan tertahan dari mulutku. Heran bercampur takjub. Ini adalah pengalaman pertamaku berbicara dengan makhluk yang berasal dari lain dunia.
“Ya, aku Anna. Penunggu rumahnya Sofie. Maaf tempo hari aku dan adikku telah membuatmu ketakutan.” Jelasnya.
“Ka—kamu... Adikmu... Hah?” Aku tergugu.
“Iya. Kami di sana satu keluarga. Aku, orang tuaku dan adik-adikku. Kami bertujuh sudah lama mendiami rumah itu.”
“Mana Sofie! Ngapain kamu ada di tubuhnya?” ujarku sedikit ketus, ketika sudah bisa menguasai keadaan. Aku tidak lagi takut kepadanya, malah geram.
“Sofie kutitipkan di Sedona, dia nggak bakalan kenapa-napa. Aku hanya meminjam sebentar tubuhnya. Aku tidak menyukai laki-laki itu. Laki-laki yang sering bertandang kerumahnya.” Suara Anna terdengar bersahabat.
“Dean?” tanyaku hati-hati, ia mengangguk pelan sambil tersenyum. Timbul sedikit rasa nyaman, ketika aku mencoba berbincang lebih jauh dengannya. Dia cukup terbuka dan santai. Usianya jauh lebih dewasa dariku, sehingga aku menambahkan embel-embel ‘Mbak’ didepan namanya.
“Mbak Anna, panggil Sofie, dong... Udah waktunya kuliah, nih!” Terlihat Sofie menyapukan kedua telapak tangan kewajahnya. Ia menggeliat kecil dan tersentak. Seketika muncul lah raut wajah Sofie yang sebenarnya.
“Hai Naooo...” Ujarnya ceria, aku hanya kembali terheran-heran.

******

Sejujurnya, aku merasa aneh karena berteman dengan makhluk yang tak kasat mata. Benar-benar aneh! Makin hari aku makin mengenal pribadi mbak Anna. Ia bercerita bahwa ia kasihan melihat Sofie yang selalu kesepian. Ia ingin melindungi Sofie dari rayuan gombal para lelaki. Ia juga bercerita tentang keluarganya, bagaimana ia bisa ada disana, tentang ia yang takut anjing, dan tentang kakek-kakek yang menghadangnya ketika ia kuundang untuk bermain kerumahku di tengah malam. Kakek-kakek yang berdiam di rumahku, terangnya.

Pernah aku bertanya kepadanya, mengapa ia tak pernah menunjukkan wajah aslinya. Namun ia tak pernah menjawab dan selalu saja mengalihkan pembicaraan. Aku semakin bertanya-tanya dan menduga, apa wajahnya mengerikan seperti sinetron mistis yang kerap ditayangkan di TV? Tapi aku tak berani memaksanya untuk bercerita tentang hal-hal yang ada diluar batas. Aku cukup tahu diri untuk hal itu.

Tak begitu banyak yang mengetahui perihal mbak Anna, yang sering memakai tubuh Sofie sebagai media. Namun, lambat laun hal itu tercium juga oleh keluarganya Sofie. Sofie kerap bertingkah aneh di hadapan keluarganya. Selidik punya selidik, akhirnya mereka tahu, bahwa Anna dan keluarganya adalah penunggu rumah tersebut. Mereka memang tidak mengganggu kenyamanan keluarganya Sofie, malah mereka turut menjaga rumah tersebut dari orang yang berniat iseng.

Lama aku tak mendengar lagi kabarnya mbak Anna. Entah bagaimana ceritanya dia, aku juga tidak tahu. Ketika hal itu kutanyakan Sofie hanya bilang, bahwa tubuhnya letih jika harus digunakan mbak Anna terus. Banyak kudengar cerita dari Sofie tentang mereka. Tentang mereka yang tidak mau lagi mencampuri urusan dunia, dan tentang permintaan aneh mereka. Mereka minta dikirimi pakaian.

“Hah? Jadi mereka naked?” Bisikku tak percaya. Sofie mengangguk.
“Waktu itu secara tak sengaja Om-ku mendapati mereka dikamar mandi belakang, tanpa sehelai benang pun yang melekat ditubuh mereka.”
“Jadi itu sebabnya dia tak berani menampakan wujud aslinya…” gumamku pelan.
“Dia malu.” lanjut Sofie.
“Makanya dia minta Om untuk mengirimi mereka beberapa pasang pakaian bekas.”
“Caranya?” keningku berkerut mendengar penjelasan Sofie.
“Dengan bantuan Kyai, Om bakalan melemparkan semua pakaian itu dijembatan besar dekat rumah. Biar mereka sendiri yang mengambilnya.” jelasnya lagi. Aku menggaruk-garuk hidung kebingungan. Aku tak mengerti!

******

Cerita tentang mbak Anna menguap begitu saja, seiring kesibukan kami dengan tugas-tugas perkuliahan yang menumpuk. Waktu libur pun tiba, kusempatkan diri untuk bermain ke rumah Sofie. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumahnya. Tidak ada yang berubah, kecuali cat rumahnya yang kelihatan baru. Sambil duduk santai, aku menebar pandangan. Mencoba mencari-cari bayangan mbak Anna. Tapi nihil, tak sedikitpun ada tanda-tanda menunjukkan keberadaan mbak Anna.

“Fie... ada cemilan, nggak?” celetukku.

“Coba lihat di kulkas deh, Nao... Perasaan masih ada Dunkin Donut disana.”
Dengan malas kuseret kakiku ke arah dapur. Entah mengapa, tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada kamar mandi yang ada disana. Sudut bibirku bergerak melengkung naik.

“Eh, mbak Anna, udah punya baju baru, toh?” Aku tersenyum menggoda, menatap sosok perempuan berbaju daster batik di pojok dapur. Sosok tak kasat mata, Anna…

Tamat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sign by Dealighted

Sign by Dealighted