hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | Gubuk Jupiter | Gubuk Jupiter |
Google
 
BERBAGI KISAH... KISAHMU, KISAHKU & KISAH KITA

Minggu, 20 Januari 2008

Meneguhkan Kemarahan Impresif - Robby H. Abror

Sepanjang sejarah hidup manusia, kemarahan merupakan sifat yang inheren dalam dirinya. Kemarahan seringkali menjadi masalah jika tak terkendali dan berdampak buruk. Apalagi jika kemarahan menjadi masalah bagi orang-orang penting atau terdekat kita. Sesuatu yang sebenarnya tidak kita kehendaki, tetapi akhirnya memaksa untuk menanganinya juga.

Kemarahan sesungguhnya adalah sebentuk emosi yang sangat manusiawi yang berkolaborasi dengan nafsu sehingga bisa berdampak positif atau negatif. Kemarahan dapat memproduksi energi positif untuk meluruskan kesalahan, memperjuangkan kebenaran atau mengangkat isu-isu penting dalam hubungan seseorang yang sangat pribadi. Tidak heran bila sesuatu yang dilakukan ketika marah akan sangat menentukan apakah kemarahan itu merupakan sumber energi yang produktif atau sebaliknya, merupakan sumber ketegangan dan konflik dalam kehidupan seseorang. Tetapi yang jelas, kemarahan umumnya menjadi masalah.

Pada kenyataannya, kemarahan seringkali datang secara mendadak dan meniadakan begitu saja kemungkinan untuk bisa mengendalikannya. Kemarahan selalu terejawantahkan disebabkan adanya pemicu, pikiran yang berkecamuk, ekspresi, pasif-agresif, serta perasaan gaduh.


Proyek manajemen kemarahan Robert Nay yang tertuang secara brilian dalam buku ini menuturkan bahwa seseorang perlu mengenali kelima penyebab tersebut yang terakumulasi dalam fisiologi kemarahan. Ada tanda dan gejala kemarahan yang memungkinkan kita untuk mempelajari dan menemukan faktor kemarahan dalam diri kita. Kita bisa mendeteksi detak jantung dan perubahan tekanan darah, laju pernapasan yang meningkat, respons lambung dan darah, respons otot-otot tubuh, perubahan temperatur kulit, indra yang menajam serta perubahan kimiawi darah dan adrenalin.

Pusparagam bentuk fisiologis kemarahan itu dapat memudahkan kita untuk mengidentifikasi karakter kemarahan melalui multiwajah kemarahan. Misalnya sarkasme, wajah kemarahan tampak dari cara orang melontarkan "banyolan" atau sindiran yang menyakitkan orang lain; membuka aib seseorang di hadapan orang lain atau mempermalukannya di depan umum; mengeraskan suara dan sikap yang dapat membuat orang muak atau tidak senang.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, terkadang kita sulit membedakan antara berkelakar dan mengolok-olok. Hanya sejumput orang saja yang sangat mahir mengombinasikan kecerdasan dan sindiran tajam sebagai suatu cara melepaskan kemarahan lewat sebuah manuver intelektual. Oleh karenanya, jika menjadi salah satu korban sarkasme, kita mungkin terluka, tetapi tidak tahu cara menafsirkan ucapan yang telah ditujukan kepada kita atau bagaimana menanggapinya. Memang kita bisa saja merasa bahwa kitalah yang memiliki masalah karena tidak cukup memiliki selera humor atau karena kita ternyata gampang tersinggung.

Setiap bentuk sarkasme tak perlu direspons secara berlebihan, tetapi yang sebaiknya dipilih jalan untuk memuntahkan kemarahan secara lebih bermakna. Lewat risetnya yang cerdas dan jeli, penulis memaparkan perlunya manajemen kemarahan. Kita perlu memahami dan mengenali kemarahan dengan cara belajar mengidentifikasi apakah kemarahan itu merupakan masalah bagi kita dan orang lain.

Kemudian bersiap-siaplah menghadapi pemicu kemarahan yang merangsang kemarahan. Menyadari kemarahan sejak dini dan berusaha meredakan gejolak. Mengubah berbagai pikiran yang memperparah kemarahan. Tetap bersikap tenang dalam situasi panas. Dan akhirnya, mempertahankan perilaku baru untuk menghadapi rintangan yang menghadang.

Sebenarnya memang bukan soal mudah untuk mengelola dan membangun kebiasaan marah yang baru. Tetapi, paling tidak, kita bisa memahami dari faktor penyulut kemarahan. Misalnya, mungkin kita pernah mengalami kondisi fisik yang sudah tidak sanggup menjalankan tugas dengan baik yang bisa saja membuat kita marah. Atau ketika pekerjaan kurang memuaskan. Atau ketika kita menyaksikan orang lain yang bertingkah laku kurang sopan, kurang terpelajar, dan gayanya memuakkan. Atau saat kita melihat orang lain tidak bisa berlaku adil, gagal menghargai pekerjaan atau mendapat imbalan yang tidak setimpal. Banyak faktor yang bisa memicu kemarahan.

Banyak cara bisa dilakukan untuk membangun kebiasaan marah yang baru. Kata pepatah, bisa karena biasa. Selalu berlatih untuk mengucapkan selamat tinggal pada wajah kemarahan yang lama. Anggaplah bahwa kemarahan tak ada bedanya dengan beratnya beban masalah di atas punggung. Jadi, segera buang jauh-jauh beban berat itu dengan cara belajar marah dalam keadaan sadar diri serta memahami betul risiko yang ditimbulkannya.

Kemarahan yang ditumpahkan dengan penuh makna secara produktif dapat membentuk aura kejiwaan yang lebih mencerahkan yang pada gilirannya menggiring kepribadian seseorang pada kondisi yang lebih tersanjung dan terhormat. Sebaliknya, kemarahan yang membuncah diatapi nirkesadaran dan nihil perasaan justru bisa menghancurkan persahabatan dan keharmonisan keluarga.

Oleh sebab itu, agar dapat memberikan manfaat bagi kehidupan dan orang-orang terdekat, kita perlu membangun kebiasaaan marah yang baru. Saat di mana kemarahan kita arahkan untuk menghalau kemungkaran demi kebenaran dan perjuangan hak. Di situlah terpatri momentum peneguhan moralitas kemarahan secara positif, estetis, dan impresif. Maka, tidak berlebihan jika buku ini akan dapat mengantarkan kemarahan seseorang menjadi lebih bermakna. Semoga! (*)

Judul Buku : Mengelola Kemarahan: Terampil Menangani Konflik, Melanggengkan Hubungan, dan Mengekspresikan Diri Tanpa Lepas Kendali
Penulis : W. Robert Nay, Ph.D.
Penerjemah : Leinovar Bahfein
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : 398 halaman

*) Robby H. Abror, Staf Pengajar Ilmu Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sign by Dealighted

Sign by Dealighted