hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | Gubuk Jupiter | Gubuk Jupiter |
Google
 
BERBAGI KISAH... KISAHMU, KISAHKU & KISAH KITA

Kamis, 01 November 2007

Sign Language / Amsal Jemari


Kedua tangan yang kita miliki masing-masing memiliki lima jari. Namun, dari kesepuluh jari yang ada, cukup banyak simbol yang dapat dihasilkan, bahkan amsal yang dapat dijadikan perbandingan.

Faktanya, hanya dengan jari jemari saja pun pelajaran hidup dapat diambil berlimpah-limpah. Jari tangan kita adalah bagian tubuh kita yang berfungsi paling dinamis, yang mempunyai paling banyak sendi sehingga lebih lentur dan membuahkan hidup yang menjadi lebih mudah. Tak terhitung jumlahnya jenis pekerjaan yang mengandalkan keberadaan jari tangan itu.


Ketika kolom ini diketik, ketika anak dibelai, kerabat bersalaman, berhitung, menggaruk yang gatal, memijat, memegang atau menggenggam sesuatu, memainkan gitar atau piano, memetik buah, bahkan ketika menarik pelatuk pistol atau menandatangani cek palsu. Jari-jari tangan kita hadir menjalankan tindak yang otak kita inginkan, tak kenal baik atau buruk.

Lebih hebat lagi, jari-jari kita pun amat kaya dengan beragam bentukan simbol. Jari-jari pun merupakan komponen paling kaya dari beragam bahasa tubuh.

Memang, karena perbedaan-perbedaan kultural, satu simbol dapat bermakna bagi suatu bangsa, sedangkan bagi yang lain tidak. Namun, sangat banyak pula simbol-simbol itu yang dipahami di mana dan oleh siapa pun. Bagi kalangan tuna rungu dan tuna wicara, bahasa tangan dan jemari atau sign language sama kayanya dengan kamus tebal yang memuat jutaan kata. Dari berbagai lipatan jari, kesemua abjad dapat dibentuk.

Itulah sebabnya, dalam hidup sehari-hari, ketika jari telunjuk kita gerakkan, ia menyampaikan banyak makna: Ia dapat berarti menyetop taksi di pinggir jalan, memberikan perintah, sekedar menunjuk arah, acungan untuk bertanya dan sebagainya. Jari telunjuk yang dituding-tudingkan pun dapat membawa arti yang kasar, ketika yang punya jari kebetulan memang sedang marah.

Lalu, dalam beragam budaya dunia, kita pun maklum tentang jari jempol yang diacungkan ke atas; makna simbolik jari telunjuk dan jari tengah yang direnggangkan—entah itu victory atau peace; makna vulgar acungan jari tengah atau kelingking dan sebagainya. Di RRC, setelah angka lima, terdapat simbol-simbol jemari lainnya yang menyatakan angka enam sampai sepuluh, yang hanya lazim di sana. Ketika di Shanghai jari tangan menunjukkan angka delapan, di Barat barangkali dimaknai sebagai simbol pistol atau sekedar tanda keakraban.

Ketika jari tengah, jari manis dan ibu jari menekuk dan membiarkan dua jari lainnya berdiri dapat dimaknai sebagai simbol setan, atau corna di Itali; tetapi di Texas itu menjadi tanda salam kalangan mahasiswa, “hook ‘em horns“, kata mereka. Atau, tepatnya, kata Harley Clark yang mempopulerkan simbol itu di tahun 1955. Sedangkan di Hawaii, ketika ketiga jari ditengah yang ditekuk dengan menyisakan ibu jari dan kelingking, ia menjadi shaka, atau lebih populer disebut hang loose, yang menjadi tanda salam yang beragam makna.

Pendeknya, hanya dari jari-jemari kita itu saja ternyata banyak hal yang dapat disimbolkan, bahkan dimaknai. Ketika di masa kecil kita mengibaratkan ibu jari sebagai gajah, telunjuk sebagai manusia dan kelingking semut, maka terjadilah sebuah permainan.

Sedangkan yang sebagai amsal, yang dapat menjadi pelajaran dalam hidup pun teramat banyak. Sebagai misal, ketika ada yang asyik menunjuk-nunjuk dan menuding-nuding, menyalah-nyalahkan orang lain, sebetulnya hanya satu yang tertuju kepada yang dituding, sedangkan tiga (kalau bukan empat) jari lainnya justru mengarah kepada diri sendiri. Oleh sebab itu, kata orang bijak, janganlah cepat melihat keburukan orang lain tanpa terlebih dahulu melakukan introspeksi diri sendiri.

Namun, sebuah amsal jemari yang sering terlintas di benak saya adalah tentang filosofi hubungan kelingking dan ibu jari, seperti dicatatkan seorang teman, Adi J. Mustafa, dalam mengenang Alm. Prof Dr. Koesnadi Hardjosumantri. Seorang wakil UNESCO, demikian kisah Pak Koesnadi, bertanya kepada seorang Kepala Desa tentang rahasia sukses dalam memimpin desanya.

Ternyata, jawaban sang Kades sederhana saja, bahwa ia menerapkan “falsafah jari tangan”. Rakyat, menurut Pak Kades, ibarat jari kelingking, sedangkan pemimpin adalah ibu jari. Bagi kelingking tidak akan mudah menjangkau ibu jari apabila si ibu jari tak mau atau enggan menekuk. Sedangkan menjangkau kelingking bagi ibu jari akan jauh lebih leluasa, walau pun kelingkingnya tetap diam.

Makna dari amsal itu ternyata tidak lagi sesederhana penuturan seorang Kepala Desa, karena ternyata dapat menjadi sangat dalam: Bahwa sudah sepatutnyalah bagi pemimpin untuk memperhatikan rakyatnya, karena akan lebih mudah baginya melakukan itu daripada sebaliknya. Bayangkan kalau antara pemimpin dan rakyat sebagai ibu jari dan kelingking saling menekuk bersambut ke tengah, bukankah semuanya akan menjadi lebih mudah?

KH Toto Tasmara dalam ceramah Pesantren Kilat (yang diberikannya di Los Angeles) menyusun kedua tangan berdempetan dengan melipatkan jari tengah. Lalu digerak-gerakkanlah kedua ibu jari saling beradu sedangkan pasangan jari-jari lain diam di tempat; lalu giliran jari telunjuk; kemudian kelingking. Semua mudah dilakukan. Namun, ketika yang digerak-gerakkan pasangan jari manis, ternyata tidak mudah atau bahkan tidak bisa.

Ustadz kita itu memang pembicara yang handal dan lihat meng-entertaint audience-nya. Dengan amsal jemari demikian itu saja, ia mengajak kita berfikir betapa bagian tubuh seperti jari-jari kita sendiri pun belum tentu dapat kita kontrol sesuka hati. Silahkan anda coba!

Demikian banyak keterbatasan yang kita miliki, bahkan hanya dalam soal jari. “Apakah kita patut menjadi sombong?” demikian Ustadz Toto bertanya dengan nada retoris. Dan guru kita itu benar, bahwa apa pun itu, tak akan pernah cukup alasan bagi seorang manusia untuk bersikap sombong. Apalagi takabur di depan Tuhan.

Betapa hidup ini teramat kaya, bahkan untuk memetik arti dari sekedar amsal jari jemari.

(Sumber:http://www.penulislepas.com/AgustiAnwar/HPK edit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sign by Dealighted

Sign by Dealighted