hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | hitamputih blog kita | Gubuk Jupiter | Gubuk Jupiter |
Google
 
BERBAGI KISAH... KISAHMU, KISAHKU & KISAH KITA

Selasa, 09 Oktober 2007

PENANTIAN_Oleh Regina Mae




PENANTIAN
Ditulis oleh : Regina Mae
Pada tanggal : 09 Oktober 2007

Januari 2004, kubiarkan gelombang yang datang dan pergi membasuh kakiku yang mulai penat menyusuri pantai. Dua jam sudah aku menunggu kedatangan kapal-kapal mungil dari Nias. Dengan harapan satu diantaranya membawa sosok yang sudah beberapa bulan ini meninggalkan aku. Beberapa mata memandangku dengan tatapan yang tak bisa aku mengerti, entah bosan, atau mungkin heran karena aku tak bisa diam, duduk tenang seperti mereka. Menunggu, bukan kah aku dan mereka sama-sama menunggu. Tapi mereka menunggu kepastian, sementara aku, entahlah.


Satu lagi, kapal berlabuh. Jantungku kembali berdegup. Sepasang suami istri melintas di hadapanku. Disongsong teriakan haru seorang gadis seusiaku.

“Semua habis nak, tak ada lagi yang tersisa, cuma badan ini yang bisa bertahan”. Samar ku dengar pembicaraan mereka.

Tiba-tiba aku teringat kembali ucapan kepala sekolah beberapa jam yang lalu,

“Bu Tia, sampai saat ini belum juga ada kabar dari Pak Anton,” “Padahal masa cutinya sudah habis sejak seminggu yang lalu, mudah-mudahan beliau tidak ikut jadi korban.”

Persendianku terasa lemah, rasanya sia-sia aku menunggu karena sejak gempa meluluhlantakkan Aceh dan Nias, tak satupun kabar yang aku terima dari Anton. Pihak sekolah pun telah mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan kabar dari Anton, namun sampai detik ini tak jua kunjung ada kabar dari tunanganku itu.

Sebuah tepukan di pundak membuyarkan lamunanku. Pak Umar, kepala sekolah tempat aku dan Anton mengabdi telah bediri di belakangku. Rupanya beliau menangkap keresahanku tadi, hingga menyusulku ke sini. Berdua kami membisu, menunggu lagi dengan harapan yang tersisa.

Senja hampir datang, kapal terakhir berlabuh. Tapi tak ada lagi harapan di hati kami. Anton takkan kembali, ia mungkin telah terkubur bersama orang-orang yang dikasihinya di kampung halamannya. Dengan langkah gontai, Aku dan Pak Umar melangkah meninggalkan tepian dengan perasaan yang tak lagi menentu.

“Pak Umar!”, “Bu Tia!”. Teriakan itu reflek membuat kami berbalik. Sungguhkah yang berdiri di depanku ini adalah dia yang tadi kutunggu dengan harap-harap cemas. Terimakasih Tuhan, engkau kembalikan ia padaku utuh tanpa kurang apapun.

Ketika sosok itu mendekat, oh... harapan itu kembali buyar,

“ada apa pak Fery?“ suara pak Umar.

“Pak Anton dirujuk ke rumah sakit pusat di sini, beliau masih koma, kemungkinan untuk hidup normal sangat tipis, kemungkinan lumpuh, kemungkinan... “ Entah kemungkinan apalagi yang diucapkan Ferry, yang aku tahu langit tiba-tiba berputar dan semua gelap.

Sebentuk cincin melingkar di jari manisku. Cincin tunangan yang di pasang Anton seminggu sebelum keberangkatannya.“ Janji nunggu aku ya, awas klo bandel“, terngiang kembali ucapannya sebelum ia meninggalkan aku menemui keluarga yang dicintainya untuk di boyong ke kota ini meminang aku.

“Tia...,“ sebuah suara menyentakkan lamunanku.“Jadi kita berangkat?“ aku mengangguk lemah seakan aku tak mampu memutar kepalaku lagi.

Ku pandangi sosok yang sangat aku kagumi itu, terbaring tak berdaya dengan bantuan alat-alat medis untuk menopang hidupnya. Bila alat itu di lepas aku tak mampu membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi. Aku hampir tak bisa mengenali wajahnya, nyaris dibalut perban keseluruhannya. Hanya pertolongan Tuhan yang mampu membuatnya bertahan dihimpit puing-puing bangunan selama hampir duapuluh empat jam.

Ku pandangi lagi tubuh lemah itu sambil memohon dalam hati agar ia dikembalikan padaku, biarkan ia temani langkahku walau mungkin tak seperti dulu. Aku akan menanti dan menerima seperti apa pun keadaannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sign by Dealighted

Sign by Dealighted